Empat Corak Berpikir Manusia. Yang Mana Corak Berpikir Anda?


/"Cogito ergo sum"/, adalah slogan filsuf Perancis Rene Descartes yang terkenal. Artinya, "aku berpikir maka aku ada". Tentu hal itu bukan "ada" dalam pengertian substansi atau eksistensi. Tanpa berpikirpun seseorang itu tetap eksis. Bayi dalam kandungan misalnya, tetap eksis walaupun belum mampu berpikir apapun.

I. Corak berpikir pertama ialah berpikir kritis (/critical thinking/).

Kata '/krinein'/ dalam bahasa Yunani artinya 'memisahkan'. Manusia memisahkan apa yang "menyenangkan" (/pleasure/) dari yang "menyakitkan" (/pain/). Yang menyenangkan dirangkul dan yang menyakitkan akan ditolak.

Kita perhatikan bahwa seorang bayi paling peka terhadap hal-hal yang tidak menyenangkan, atau yang menyakitkan. Bayi menangis kalau kepanasan dan bersikap anteng bila kondisi sekitarnya sejuk. Ia menangis kalau haus atau lapar. Ia menangis kalau pantatnya basah. Ia menangis kalau perutnya kembung. Ia menangis kalau tersengat serangga atau tertusuk peniti.

Apakah dalam bereaksi seperti itu seorang bayi memang benar-benar berpikir? Tentu saja tidak. Ia hanya merespons secara otomatis lewat kecerdasan intuitif otak hemisfir kanannya. Jadi dalam arti khusus ia memakai otak (kanan) juga.

Bayi menyukai apa saja yang terasa manis. Wajahnya yang polos akan mengernyit bila kemasukan makanan yang pahit. Apalagi lidahnya tersentuh makanan yang pedas. Kalau asupan terasa terlalu getir pahitnya maka ia akan menangis juga.

Dengan berkembangnya kecerdasan rasional otak hemisfir kirinya anak-anak juga mulai mampu berpikir "logis". Ternyata dari teknik "menangis" juga dapat mendatangkan hal-hal yang "menyenangkan". Dapat pula dipakai untuk menjauhkan hal-hal yang "menyakitkan".

Lebih besar sedikit teknik menangis berubah menjadi teknik "merengek". Kemudian setelah lebih besar lagi teknik merengek berubah menjadi "membujuk" atau "merayu". Secara negatif hal itu dapat berubah menjadi "mengancam".

Sejak dipakainya teknik membujuk atau merayu sebagai teknik "persuasi" maka orangpun mulai mengasah daya pikirnya. Dalam teknik mengancam diperlukan kemampuan menganalisis dampak ancaman terhadap kemungkinan output yang diharapkan dari "kelemahan" pihak yang diancamnya. Bila yang diancam ternyata bergeming maka hasil yang diharapanpun tidak akan diperolehnya.

Semua cara berpikir tersebut diatas tadi termasuk kategori cara berpikir lurus (/linear thinking/). Yang ini berkembang menuju cara berpikir sintesis (/synthetical thinking/). Orang mampu menemukan suatu /thesis/, mempertentangkannya dengan thesis baru sebagai /antithesis./ Dan kemudian dari situ menarik suatu kesimpulan baru atau /sinthesis./



II. Corak berpikir kedua ialah /terminal thinking/.

Orang memperhadapkan dua tesis sebagai domain, kubu, kutub, atau terminal. Ia kemudian memilih untuk berpihak pada salah satu kubu dan membuang kubu lainnya, yang dianggapnya tidak cocok atau tidak bermanfaat.

Misalnya, cara berpikir atau /top-down/ atau /bottom-up/. Pancasila sebagai ideologi negara itu harus ditanamkan kepada masyarakat lewat penataran P-4, demikian keyakinan Kubu Pemerintah.

Sebaliknya pada Kubu Pendidik orang berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila (nilai ketuhanan, nilai humanitas, nilai nasionalitas, nilai demokrasi, dan nilai keadilan sosial) itu harus dirangsang pertumbuhannya lewat peneladanan dan persuasi pada tingkat individual atau secara subyektif.

Kalau cara berpikir tadi sifatnya terminal /vertikal/ maka ada pula terminal /horisontal/. Bipolaritasnya terletak pada satu bidang datar.. Misalnya kubu kapitalis dan kubu sosialis. Ekonomi apakah harus diatur secara sentralistik atau desentralistik.

Negara apakah harus diatur secara teokratik-otokratik (berdasarkan /syariah/ agama) atau secara sekuler-demokratik.



III. Corak berpikir ketiga ialah cara berpikir "berentang dan berskala" (/ranging and scaling thinking/). Atau corak berpikir pemetaan (mapping thinking). Cara berpikir terminal tadi kehilangan banyak unsur-unsur baik dan bermanfaat dari kedua terminal yang saling berseberangan.

Negara demokratis kehilangan "peluang" untuk hal-hal yang dapat dengan mudah diatur dengan sistem otokratik. Penyediaan lahan untuk proyek-proyek vital atau penggusuran-penggusuran relatif lebih mudah dilakukan di negara otoriter dibandingkan dengan negara demokratis (apalagi yang baru belajar berdemokrasi).

Melakukan penghematan listrik atau air bersih tinggal dikomando saja dan bukan lewat himbauan-himbauan yang tidak kunjung dilaksanakan. Demonstrasi liar dilibas saja dengan brutal sehingga meninggalkan dampak traumatik yang bersifat deterrent. Terhadap koruptor dilaksanakan hukuman mati -- tanpa tebang pilih -- dan tanpa ampun sehingga membawa dampak deterrent yang mengerikan. /(To slain a chicken to deter monkeys)./

Sebaliknya pada kubu liberal dapat dinikmati kebebasan pers, bahkan sampai tingkat yang mengganggu privasi orang atau keluarga.

Corak berpikir ketiga ini memiliki dua keuntungan dasar. Pertama, system ini memungkinkan pemanfaatan hal-hal yang baik dari kedua kubu. Dapat membuang hal-hal yang buruk juga dari kedua kubu tersebut.

Kedua, terdapat peluang untuk mengadakan ulur tarik dalam unsur pengendalian. Bila dirasakan terlalu bebas sehingga mengarah kepada keliaran maka dapat dipakai instrumen otoriter secara bijaksana dan berkemauan baik (/benevolent dictatorship/).

Bila dirasakan keadaan sudah terlalu mencekam dan mengikat terlalu ketat maka dapat dikeluarkan kebijakan yang agak liberal sehingga masyarakat dapat sedikit lega menarik nafasnya.

Jam malam sejak jam 22 dikendorkan sampai jam 24, misalnya. Semula setiap keluarga hanya boleh memiliki satu mobil dikendorkan sehingga boleh memiliki dua mobil. Dari kondisi semua agama dilarang menjadi bebas memilih beberapa agama besar.



IV. Corak berpikir keempat ialah berpikir orkestra (/orchestral thinking/). Corak keempat ini tidak lagi bersifat statis teroretis melainkan lebih dinamis dan operasional.

Ketiga corak berpikir terdahulu lebih bersifat posisional. Artinya, orang mencari pada posisi mana ia berada sewaktu berpikir. Di sini, di sana, mondar-mandir, atau berada di seberang. Manusia menjadi unsur variabel dan bukan unsur konstan. Ia bersifat responsif atau /stimulus-based/ dan bukan bersifat /action-based/.

Corak berpikir keempat adalah corak berpikir yang memakai dan memanipulasi ketiga corak berpikir lainnya. Karena masing-masing corak itu memiliki kekhususan dan keunggulan khusus di samping kelemahan-kelemahannya.

Manusia yang berpikir logik-sintetik belaka akan kehilangan kemampuan kecerdasan intuitifnya. Ilmu saja tidak cukup bagi manusia karena manusia juga memerlukan iman, moral, dan spiritualisme (dan agama).

Orang yang mengandalkan logika saja -- seperti artikel penulis soal film /The Savage Innocent/ kemarin -- dapat tega membiarkan kaum jompo mereka sendiri ditelantarkan di padang es untuk dijadikan mangsa para beruang kutub. Supaya beruang kutub juga mendapat makanan. Supaya di kemudian hari beruang itu pada gilirannya dapat diburu. Dagingnya dijadikan makanan, kulitnya dijadikan pakaian buat anak-anak mereka. Cara yang sangat kejam menurut "moralitas umum" tetapi merupakan urgensi yang sangat wajar menurut logika dan moralitas setempat.

Orang yang mengandalkan agama saja (tanpa logika) cenderung berpikir akan mampu menguasai buat kaumnya sendiri terminal akhir ke surga. Dan menganggap semua kaum agamis di terminal ujung lainnya pasti termasuk kloter yang menuju neraka.

Sebenarnya mereka juga tidak perlu bersusah payah untuk mengkafirkan dan "memberantas" kaum-kaum lainnya (kalau tidak mau "bertobat"). Karena toh sesuai logika-liner, mereka itu semuanya pasti masuk neraka jahanam juga pada akhirnya. Tanpa menyadari bahwa mereka sendiri kurang mampu memahami betapa "luas dan dalamnya" kerahiman Allah yang Mahapengampun.

Yaitu bahwa Allah juga menyediakan pintu tobat bagi setiap manusia sampai detik terakhir hidupnya. Betapapun jahat dan kafirnya seseorang itu menurut tolok ukur dan penilaian suatu kubu tertentu pada detik ini.

Corak berpikir keempat juga menyadari kelemahan corak berpikir ketiga yang manipulatif justru karena keberadaan posisinya yang di seberang (/thinking beyond/). Seakan-akan berada di atas sebuah menara gading yang tinggi, steril dan tak tersentuh. Akibatnya lebih bersifat wacana daripada bersifat operasional.

Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutlak diperlukan corak berpikir pertama yang sintesis dan bersifat eksakta.

Untuk mempertahan moralitas-dasar diperlukan kepastian moral dan bukan moralitas-ganda atau bandulan-moral yang terus bergeser posisi sehingga tidak dapat dijadikan pegangan yang mantap.

Untuk mengembangkan toleransi dan harmoni dalam kehidupan bersama diperlukan corak pemikiran yang transenden yang tidak memaksakan diri untuk masuk dan memihak kepada kubu terminal ekstrim kiri maupun kanan.

Corak berpikir keempat analoginya seperti seorang pengemudi mobil yang membutuhkan ketiga instrumen yang ada yaitu kopling, rem dan gas. Tanpa kopling mobil kecepatan terbatas dan penambahan gas hanya meraung

bising saja. Tanpa gas maka mobil akan berjalan sangat lamban. Tanpa rem maka mobil akan menabrak apa saja yang menghalanginya di depan dan tidak dapat berhenti setelah sampai ke tempat tujuan.

Manusia membutuhkan dan harus handal memainkan ketiga corak pemikiran yang ada baik /synthetical thinking/, /terminal thinking/, maupun /ranging-scaling thinking./ Baru dengan menguasai ketiga corak berpikir itu ia mempunyai corak berpikir yang dinamakan /orchestral thinking/. JS. ?

0 Response to "Empat Corak Berpikir Manusia. Yang Mana Corak Berpikir Anda?"